Kamis, 12 Februari 2009

Kontroversi Perempuan Berkalung Sorban


Ketika film yang disutradarai Hanung Bramantyo ini beredar, reaksi yang muncul kemudian sangat beragam. Ada yang memuji dan tak sedikit pula yang mencaci-maki. Pujian atas film ini mungkin sesuatu yang wajar, karena Hanung memang terlihat berusaha bekerja lebih baik dengan harapan akan menghasilkan karya yang lebih baik pula daripada film-film sebelumnya. Penilaian negatif juga tak mungkin dikesampingkan. Banyak pihak, terutama para kyai dan kalangan pesantren sangat menentang penayangan film ini. Berbagai pandangan yang bernada menghujat ditujukan untuk konten film ini, inilah yang akan coba sedikit saya bahas dalam tulisan ini.

Hanung, sebagaimana saya ketahui, barangkali tak berniat sedikitpun untuk menyesatkan pandangan penonton terhadap agama Islam. Ia hanya berusaha jujur pada realita (atau secuil realita) yang dialami seorang perempuan yang lahir dan tumbuh dalam keluarga pesantren. Tokoh perempuan Annisa (Revalina S. Temat) bukanlah generalisasi seluruh perempuan muslim di Indonesia. Annisa adalah seorang manusia yang menjadi bagian dari jutaan perempuan muslim lain di Indonesia. Tekanan dan ketertindasan yang dialaminya adalah salah satu cermin yang hendak dipotret oleh Hanung dalam film ini. Bukan gambaran umum dari perempuan muslim Indonesia, kita harus membedakan antara seorang tokoh wanita dan seluruh wanita muslim di Indonesia.

Kenapa sudut pandang itu harus dipisahkan? Tokoh dalam film (dalam hal ini Annisa) sebagai "seorang" perempuan muslim dari keluarga pesantren, dengan perempuan muslim di Indonesia tak bisa disejajarkan dalam satu sudut pandang penilaian. Ingat, film ini bercerita tentang kehidupan Anissa yang kebetulan beragama Islam dan lahir di keluarga pesantren. Berbagai tekanan, kegelisahan, harapan dan cinta yang dialaminya tidak berbeda sama sekali dengan perempuan-perempuan lain bahkan dengan perempuan dari agama lain sekalipun. Latar belakang budaya dan keluarga (dalam hal ini pesantren) tentu menjadi ikutan yang logis karena cerita ini mengambil setting pesantren. Jadi kita sebagai penonton seharusnya lebih cerdas dalam memahami cerita film ini. Saya kira Hanung dan Habibah juga berharap sama dalam cara menikmati karya ini.

Bila kemudian banyak hal (dialog salah satunya) dijadikan sumber hujatan terhadap film ini, mari kita coba uraikan secara lebih dalam. Ada satu statement yang mengatakan bahwa Islam tidak pernah melarang perempuan naik kuda, kenapa dalam film ini dilarang? Ingat, yang melarang Annisa naik kuda adalah ayahnya, bukan Islam (Al Quran). Tidak dialog atau kata-kata dalam film ini yang menyatakan bahwa Islam melarang perempuan menunggang kuda. Begitu pula dengan dialog-dialog yang diucapkan Annissa ketika mengalami kekecewaan dan tekanan hidup yang memuncak. Saya kira semua orang, bukan hanya Annissa, sangat mungkin akan mengungkapkan kekecewaan dengan berbagai cara. Karena ini adalah potret kehidupan seorang perempuan biasa yang diceritakan dalam bentuk kata-kata dan gambar. Apakah semua potret kehidupan perempuan muslim Indonesia baik-baik saja? Saya kira tidak.

Jadi, saya sebagai penonton hanya menyarankan, tontonlah film ini dengan kecerdasan bukan dengan prasangka.

3 komentar:

  1. Saya setuju dengan pak Eri Julyadi.., karya karya Hanung Bramantyo memang punya kelas tersendiri, salah satu filmnya, yang menarik, "Doa yang mengancam", yang dibintangi Aming.,

    BalasHapus
  2. Saya akan usahakan nonton film ini...,saya setuju dengan bapak, memang karya karya Hanung Bramantyo perlu ditonton dengan kecerdasan bukan dengan prasangka.., salah satu karyanya "DOA YANG MENGANCAM" (yang dibintangi AMING) sangat berkesan sekali..., bravo...

    BalasHapus
  3. ok, terima kasih atas apresiasinya..

    BalasHapus

Tuliskan komentar Anda