Rabu, 12 Oktober 2011

jentera musim

aku....

menambahkan segenggam bara dalam gulita setapak panjang

purba.....

melebihi masa lalu yang membunuhku secara perlahan

menikam kegamangan mimpi yang kubangun tentang harapan

di persimpangan takdir

kuhamparkan luka yang terus menganga menjaring murka

lalu angin memiuh perjalananku semakin jauh ke bibir bianglala

disini....

masih ada detik yang memperjuangkan putaran waktu untukku

mengabarkan kekalahan nasib serta peperangan kasmaran merebut hasrat

dan pada batas keterasinganku

gerimis menyiangi sisa kemarau yang tertinggal di selasar penuh serapah

aku....

terhempas di rusuk malam, meraih rembulan yang terluka

lalu tangis keharuan membeku saat bintang membawakan embun kepalsuan

sungguh.....

kelelahan ini terlalu lama bersamaku.......


pekanbaru, 20 juni 2011

“.........................”

dan akupun menunduk pada nasib

menyerahkan pasrah yang lama kupertahankan

sebab tak mungkin kupeluk kegamangan ini lebih lama lagi

anak-anak yang berteriak menceracaukan harapan

memintaku memberikan air mata yang masih kumiliki

dan tak ada yang harus kusalahkan atas keadaan ini

tak semestinya cuma mimpi yang kupersembahkan

mata mereka yang penuh harap memintaku berjalan lebih jauh

temukan susu dan nasi yang akan membuat mereka bertahan

aku adalah tempat berlindung

saat kesunyian menyungkup malam-malam yang mereka rengkuh

dalam rasa lapar berkepanjangan

aku berlutut pada nasib

membiarkan penistaan harapanku menjadi puing sesal

hingga debunya membasuh semangatku yang beku

tertusuk ratapan gerimis

aku meraung

hingga lumat bersama gaung tangis anak-anakku yang bergayut

pada pelupuk senja penuh cibiran

dan orang-orang meninju ulu hatiku

menginjak satu-satunya asa yang masih kugenggam

ada tawa dan kemenangan mereka atas nasibku

sungguh

begitu adilnya kehidupan

membunuh dan dibunuh

aku bersimpuh

menerima keduanya dalam perjalananku

dan bergumam

terima kasih

aku lelah menerima kesalahan ini

ataukah aku hanya membenarkan kesalahan

sedangkan kebenaran atas keberadaanku

bukanlah kesalahan

lalu dimana jawaban pertanyaanku tersimpan

aku hanya menelan keberuntungan orang lain

diatas kemalangan dan penistaan hidupku

mencoba menerima ketidakadilan ini

sebagai makanan sehari-hari

mensyukuri kemiskinan dan kehinaan

yang mengguyur seperti hujan

aku terlantar sendiri

sementara orang-orang terdekat yang kuanggap dekat

menjauhiku

mencibirkan kegagalan sebagai hadiah ulang tahunku

sungguh

betapa adilnya hidup ini

tertindas dan ditindas

aku menggumam sekali lagi

terima kasih

kehidupan begitu puas menertawakan kekalahanku

meludahiku dengan sejuta jebakan yang ia ciptakan untukku

kehidupan memberiku keadilan

dengan mencampakkanku pada dasar terdalam lumpur nista yang ia ciptakan

aku tak menangisi

menerimanya sebagai anugerah kepedihan

aku tercincang oleh pikiran

mengunyah duka dan tangis anak-anakku yang berharap

atas belas kasih kehidupan

namun cambuk kehidupan tak mendengarku

ia asyik menikmati kemenangan

atas ketidakberdayaanku menyelamatkan diri

kehidupan menciptakan keadilannya sendiri

menghakimi dan menyiksaku sepanjang waktu

ia berguman penuh bangga

itulah keadilan untukmu, maka terimalah

aku mengguman kesekian kalinya

terima kasih

benarkah telah kuingkari takdir ini

menemukan pembenaran atas kesalahan yang tak kulakukan

benarkah telah kurebut kehidupan anak-anakku

menemukan kebahagiaanku sendiri

telah kuberikan apa yang kumiliki

telah kepersembahkan semua yang kupunya

lalu apalagi yang harus kuserahkan

dengan semua ketiadaan yang kugenggam

seberapa jauh lagi jalan penuh luka ini harus kutanggungkan

ingin kurasakan sesaat tanpa beban

lepas merasakan kenikmatan tanpa pamrih

dimanakah sebenarnya jalan yang harus kulalui

tanpa perih dan siksa yang mendera

jika tak ada

lalu kenapa kehidupan ini harus kujalani

sungguh begitu adilnya kehidupan ini

teraniaya dan dianiaya

harus kugumamkan lagi

terima kasih

dedicated to my sons & daughter : naufal rahadian ilham, aniel hikmatya ramadhan dan mahsya anindya putri

Mei 2010

dan

dan

ketika kusesali segala cinta yang telah kau tuangkan pada dahaga jiwa

sesungguhnya masih tetap kusimpan kerinduan yang baqa pada senyum di bibir mungilmu

sebab ketika engkau pertaruhkan nyawa demi cintamu untukku

di selasar ruang tempat kau berbaring kupanjatkan miliaran doa dan kata agar kau tetap disisiku

lalu tangis kutumpahkan hingga jadi lautan pengharapan pada kasihmu

dan

sesungguhnya anakku,

perjalanan panjangku akan tetap berlabuh di hatimu dan selalu berharap pada ketulusan yang kau guratkan di sepanjang tawa dan tangis yang kau labuhkan di pundakku

dan

ketika ingatanku menepi pada kehangatan tubuhmu dalam pelukku

semua meluluhkan keliaran anganku dan kau jerat aku dalam perenungan

dalam ketaksabaranku menunggu kau dewasa telah kutabung sejuta cerita

bekalmu memahami cinta dan cahaya yang kau bawa di jemari mungilmu

dan

kuhitung ribuan senja yang begitu nelangsa dalam sunyi warna tembaga

malam-malam yang terabaikan bersamamu tetap kusimpan dalam lubuk terdalam kenanganku

selalu padamu

buah hatiku, akankah langkahku kau salahkan kelak?

betapa permohonanku untuk bahagiamu selalu bergema disetiap pagi yang terjerang diatas gejolak embun

karena sesungguhnya kesumat rindu yang kusimpan untukmu adalah nafas agar mimpi dan tidurmu menemaniku dalam setiap perjalanan

dan

ketika gerimis semakin galau menunggumu di depan pintu rumah kita yang semakin purba oleh gelakmu yang renyah menggema dalam sempitnya ruang yang dapat kupersembahkan untukmu

aku selalu ada disampingmu menjaga agar mimpi buruk tak menjamah tidurmu

dikeningmu anakku kan selalu kuhamparkan ciuman abadi agar kau selalu dahaga pada hadirku

untuk menemani saat sepi menjeratmu

dan

ketika usia telah mengantarmu menjalani masa yang kian ranum dalam genggaman

sungguh begitu gusarnya nuraniku

ketakutan merajai anganku sebab perjalananmu begitu panjang dan kian jauh

sedang persinggahan yang kubangun untukmu semakin tua dan rapuh

akankah masih sanggup kupeluk cintamu dengan lengan yang semakin lemah menggapaimu

dan

saat keterasingan mengurung gelisahku

engkau datang menjenguk

menyibakkan kabut sesal yang menyungkup kehidupanku

dan sesungguhnya

anakku

telah kumenangkan cintamu

disini

disetiap tetes embun yang kau raupkan didadaku yang semakin tua dirajah peristiwa

dan

ketika malam merayap gelisah

engkau rebahkan rindu padaku dibibir jendela

aku tergagap mengejar isakmu yang menjauh

terbawa kabut dinihari

anakku

telah kukirimkan gairah pencarian untukmu

disetiap helai cinta yang tersangkut di pelupuk kasmaranku

padamu

dan

pelukan lembut serta kecupan pipimu yang seperti kapas

tak pernah hilang di jantungku

bersemayam abadi mengantarkan langkah

saat kutinggalkan tangismu yang tercekat didinding rumah kita

anakku

biarkanlah duka hanya untukku

gemerlap cinta bahagia hanya milikmu

selamanya

dedicated to my sons & daughter : naufal rahadian ilham, aniel hikmatya ramadhan dan mahsya anindya putri


Agustus 2009

Senin, 15 Februari 2010

gerimis diatas gundahmu

lalu
persimpangan itu ku tandai
dengan sebilah ragu
tanpa harapan akan dibaca
sebab kata-kataku tersangkut
sebab jari-jariku melepuh
sebab sebab darahku membeku

dan
bulan menikamku dengan amarah
dengan sehelai ilalang
tanpa ingin mengerti
sebab malam-malam pedih yang kurajut
sebab embun dinihari yang mengering
sebab mimpi yang mengeras
jadi dendam

aku
terhimpit angin
membusuk di kerongkongan waktu
dan peristiwa mengunyahku

disini....

Selasa, 03 Maret 2009

lelaki dan perempuan3

lelaki dan perempuan menunggu di beranda
hujan kian gelisah mengguyur senja yang kuyup oleh tanya
sementara anak-anak dalam ketidaktahuan atas nasib
berendam di genangan air mata orang tua mereka
bermain dengan gurauan pahit sambil mengunyah rasa lapar
pada ruang-ruang tetesan hujan mereka temukan mimpi
lalu isyarat getir menjadi bagian yang terus mereka mamah sepanjang waktu

lelaki dan perempuan menunggu di beranda
tanah yang basah menggeliat malas menunggu malam yang mencekam
dan cakrawala semakin enggan menelan kabut yang gundah oleh takdir
tidur yang gelisah diatas kasur tipis
dengan kutu-kutu busuk yang menyelimuti nasib
mereka tak pernah tahu seberapa lama hidup akan berlangsung

lelaki dan perempuan menunggu di beranda
sekelebat harap membuncah hasrat namun urung menjadi nafsu
sebab kemiskinan menelan gairah yang mereka sisakan di sudut hari
lalu anak-anak itu menceraikan mimpi mereka
mencincangnya jadi mainan
di lantai tanah tercecer segumpal tangis yang membeku dilindas waktu
anak-anak itu kembali merampasnya jadi mainan
sebab hanya itu dunia yang mereka punya

lelaki dan perempuan menunggu di beranda
temaram musim menelanjangi kampung kumuh yang mereka banggakan
di pinggir kali itu tempat peristiwa bersanding dengan waktu
mencatat kemelaratan yang mereka ukir pada tembok kehidupan
anak-anak yang mereka lahirkan tumbuh menjadi pemangsa
melahap segala mimpi yang