Jumat, 13 Februari 2009

Ekplorasi Property dalam Akting

Membanjirnya tayangan televisi berupa sinetron atau ftv semakin membuka lebih banyak peluang bagi pelaku seni peran (akting) untuk terjun menggeluti bidang ini. Banyaknya sumber daya ternyata tidak diimbangi dengan kualitas permainan. Banyak sekali hasil produksi sinetron maupun ftv hanya sekedar sebagai proyek kejar tayang atau meningkatkan rating. Hal ini sangat merugikan bagi perkembangan seni akting. Padahal cara untuk memulai peningkatan ini tidaklah sulit. Hanya dibutuhkan sedikit kemauan dan kesabaran untuk mau belajar dan tidak semata-mata memfokuskan diri pada pemenuhan materi dan popularitas.

Salah satu elemen yang cukup penting untuk digunakan dalam meningkatkan kualitas permainan adalah dengan memperluas kemampuan dalam memanfaatkan property/hands property dalam setiap permainan. Banyak sekali tayangan yang menggambarkan betapa tidak pedulinya para pemain sinetron/ftv terhadap property yang mereka gunakan. Bahkan untuk menyulut sebatang rokok atau memainkan sebuah pulpen pun tidak memberikan efek apa-apa terhadap karakter yang mereka perankan.

Eksplorasi yang optimal terhadap property akan menjadi salah satu penyumbang kekayaan akting seorang pemain. Sebagai contoh, dalam sebuah scene yang menggambarkan betapa hausnya seseorang, cara mengambil gelas, mengisinya dengan air dan kemudian meminumnya lalu meletakkan gelas itu kembali pada tempatnya. Proses keempat langkah meminum air untuk menghilangkan haus ini akan menjadi begitu kaya dan bagus apabila sang pemain menyadari apa latar belakang yang mengharuskan dia untuk minum, apakah karena lelah sehabis berolah raga, atau hanya sekedar menghilangkan serak di tenggorokan, atau karena dia tengah kepedasan. Hal ini sangat penting untuk diketahui agar permainan dalam adegan meminum segelas air menjadi sebuah akting yang mengagumkan. Itu hanya salah satu contoh kecil. Banyak sekali permainan dalam adegan-adegan lain yang bisa dieksplorasi dengan memanfaatkan property yang digunakan dalam permainan.

Semoga tulisan singkat ini akan memberi pemicu bagi para pemain sinetron/ftv dalam meningkatkan permainan mereka, jangan jadikan alasan kejar tayang dan sedikitnya waktu untuk analisa karakter hanya untuk menghindari kesempatan belajar memperbaiki akting yang dilakukan.

Kamis, 12 Februari 2009

Kontroversi Perempuan Berkalung Sorban


Ketika film yang disutradarai Hanung Bramantyo ini beredar, reaksi yang muncul kemudian sangat beragam. Ada yang memuji dan tak sedikit pula yang mencaci-maki. Pujian atas film ini mungkin sesuatu yang wajar, karena Hanung memang terlihat berusaha bekerja lebih baik dengan harapan akan menghasilkan karya yang lebih baik pula daripada film-film sebelumnya. Penilaian negatif juga tak mungkin dikesampingkan. Banyak pihak, terutama para kyai dan kalangan pesantren sangat menentang penayangan film ini. Berbagai pandangan yang bernada menghujat ditujukan untuk konten film ini, inilah yang akan coba sedikit saya bahas dalam tulisan ini.

Hanung, sebagaimana saya ketahui, barangkali tak berniat sedikitpun untuk menyesatkan pandangan penonton terhadap agama Islam. Ia hanya berusaha jujur pada realita (atau secuil realita) yang dialami seorang perempuan yang lahir dan tumbuh dalam keluarga pesantren. Tokoh perempuan Annisa (Revalina S. Temat) bukanlah generalisasi seluruh perempuan muslim di Indonesia. Annisa adalah seorang manusia yang menjadi bagian dari jutaan perempuan muslim lain di Indonesia. Tekanan dan ketertindasan yang dialaminya adalah salah satu cermin yang hendak dipotret oleh Hanung dalam film ini. Bukan gambaran umum dari perempuan muslim Indonesia, kita harus membedakan antara seorang tokoh wanita dan seluruh wanita muslim di Indonesia.

Kenapa sudut pandang itu harus dipisahkan? Tokoh dalam film (dalam hal ini Annisa) sebagai "seorang" perempuan muslim dari keluarga pesantren, dengan perempuan muslim di Indonesia tak bisa disejajarkan dalam satu sudut pandang penilaian. Ingat, film ini bercerita tentang kehidupan Anissa yang kebetulan beragama Islam dan lahir di keluarga pesantren. Berbagai tekanan, kegelisahan, harapan dan cinta yang dialaminya tidak berbeda sama sekali dengan perempuan-perempuan lain bahkan dengan perempuan dari agama lain sekalipun. Latar belakang budaya dan keluarga (dalam hal ini pesantren) tentu menjadi ikutan yang logis karena cerita ini mengambil setting pesantren. Jadi kita sebagai penonton seharusnya lebih cerdas dalam memahami cerita film ini. Saya kira Hanung dan Habibah juga berharap sama dalam cara menikmati karya ini.

Bila kemudian banyak hal (dialog salah satunya) dijadikan sumber hujatan terhadap film ini, mari kita coba uraikan secara lebih dalam. Ada satu statement yang mengatakan bahwa Islam tidak pernah melarang perempuan naik kuda, kenapa dalam film ini dilarang? Ingat, yang melarang Annisa naik kuda adalah ayahnya, bukan Islam (Al Quran). Tidak dialog atau kata-kata dalam film ini yang menyatakan bahwa Islam melarang perempuan menunggang kuda. Begitu pula dengan dialog-dialog yang diucapkan Annissa ketika mengalami kekecewaan dan tekanan hidup yang memuncak. Saya kira semua orang, bukan hanya Annissa, sangat mungkin akan mengungkapkan kekecewaan dengan berbagai cara. Karena ini adalah potret kehidupan seorang perempuan biasa yang diceritakan dalam bentuk kata-kata dan gambar. Apakah semua potret kehidupan perempuan muslim Indonesia baik-baik saja? Saya kira tidak.

Jadi, saya sebagai penonton hanya menyarankan, tontonlah film ini dengan kecerdasan bukan dengan prasangka.

lelaki dan perempuan 2

setangkai murka melepuh diguyur peluh perempuan kasmaran
dia
sang perempuan yang lelah memupuk asa akhirnya menyerah pada kesumat birahi
dia
sang lelaki yang tercerabut dari geliat mimpi berlutut pada dendam
mereka bersitegang dengan waktu yang letih menyumpalkan hitungan
disini
dalam lenguhan panjang menjelang dinihari
lelaki dan perempuan
menikamkan cinta pada bisul kasamaran yang jengah pada rayuan
lelaki dan perempuan
meringkuk diujung pagi menanti kabut yang tertatih membawa cawan pembalasan
pada cinta yang palsu


Jakarta, 7 Februari 2009

lelaki dan perempuan 1

perempuan itu masih menjerang waktu pada tungku musim yang makin tua
dan ia masih setia menghangatkan harap pada lelaki rapuh yang terseok menjangkau mimpi
mereka sering lupa tentang pertemuan hati yang sulit tertautkan
perempuan dan lelaki itu masih tahu bahwa dalam tidur mereka ada hasrat yang makin hambar
pada hitungan mendung yang berakhir gerimis
perempuan dan lelaki itu menyisir janji yang telah lupa kapan mereka ucapkan
lelaki dan perempuan itu kian ringkih menanti kata yang tak pernah sanggup mereka ucapkan


Jakarta, 6 Februari 2009

raja ku

disini rajaku
kutemukan suara yang menitahkan harapan
berpesan agar tahta di tanganmu tak beralih
menjauhkanmu dari kata yang kurangkai
saat kau bertaruh napas dengan tangisanku

disini rajaku
masih kusimpan rapi isak paraumu
saat kau kuras letih yang kutabung dalam sebaris doa
merengkuhmu dan berbisik, jangan tinggalkan aku
kau meraung
meneriakkan pinta tentang kasih
aku berenang rajaku
mengarungi samudera kasmaran milikmu

disini rajaku
tempat asing yang purba
suara lirihmu masih membahana memenuhi langit sepiku
dan harmoni dalam celotehmu
merenggutkanku di gelimang penyesalan
sebab malam-malam milikmu kusembunyikan
di belantara hasratku yang liar

disini rajaku
aku selalu berlabuh mengenangmu
mengembangkan layar untuk mengantarkanmu
entah kenapa semua dermaga meneriakkan namamu
menjangkau pesona di genggamanmu

disini rajaku
cawan-cawan kususun dan menunggu
sepenggal doa

darimu


dedicated to my son : naufal rahadian ilham


Jakarta, 2 Nopember 2008

belum usai

kutulis kata di kerongkonganmu saat magrib hampir usai, cuma sesaat
dengan sehelai kerdip kau isyaratkan amarah, entah kasmaran? mengapa begitu sulit memelukmu?
dan di penghujung malam ketika embun merangkak di selasar
semakin jauh kau bawa angin yang masih setia membawakan pesan
aku masih saja meringkuk mempertanyakan waktu yang kau titipkan di beranda
dan sesekali harus kuterima bahwa menunggu tanpa pilihan adalah kematian
kini, dimanakah rindu? adakah musim yang kau ceritakan akan menjemputku? mengembalikan
senyummu yang dulu?


Jakarta, 21 Oktober 2008

luka yang jadi luka

berlapis kekumuhan tafsir yang kau benamkan di gendang telingaku
tentang rapuhnya mimpi yang bernaung dibawah bayang-bayangku
engkau selalu saja menyuruhku menjauh dari hasrat
tapi tak pernah kau tunjukkan peredam luka yang tertanam didadaku
sedangkan aku
lebih sering lupa mengingat seluruhmu yang sebenarnya hadir dalam setapak panjangku
engkau terlalu sering meneriakkan gelisah
daripada membisikkan tembang
luluhlah aku dalam kerentaan menjelajahi kemarau yang tak pernah usai
aku semakin kering
disini


Jakarta, 20 Oktober 2008

takkan ada gelisah untukmu

ketika kuretas mimpimu diujung malam ada isak yang tersisa dipipimu
sungguh
aku tak hendak menepis rindu yang kau titipkan di dadaku, anakku
sejauh angin menjelajahi cakrawala yang kurajut untukmu
selalu
kuhamparkan cerita untuk teman tidurmu

ketika pagi menjemput senyum tipismu di selasar harap
aku berusaha menjangkau kata yang lirih kau ucapkan dibalik pintu
sungguh
aku tak ingin meninggalkan sepi untukmu
sebab cinta dan kasmaran untukmu takkan pernah usai anakku
lalu ketika engkau semakin tumbuh menerabas gelisah yang kutelisik diujung hari
kian terasa betapa rindu menindas perjalanan kita
sungguh anakku
telah kurangkai jutaan asa untukmu di esok hari
aku takut membiarkan malam menyelimuti setapak yang kau lalui
karena kutahu kau ingin menjangkau matahari

sungguh buah hatiku
telah kuselesaikan bahtera di pelabuhan impianmu
dan kupesankan pada musim agar menunda badai dalam pelayaran panjangmu
lalu pagi berikutnya kan kau temukan cinta
karena kutahu engkau takkan pernah berhenti menjelajahi impian


Jakarta, 20 Oktober 2008

laut, lelaki dan perempuan

laut mengisahkan lelaki pada perempuan yang bersimpuh di pelipis dermaga

"beranjak dia meniti musim menyongsong senja yang tersangkut pada karang
aku mengikuti, dia mengusirku, biarkan aku mengering disini, katanya, jangan lagi kau kirimkan buih untukku masih ada gerimis dan itu cukup buatku, kenapa? aku bertanya, kau tak pernah setia menggulung kasmaranku dalam gelisah perempuanku, selalu saja kau labuhkan tanya hingga perempuanku kian ragu pada penantian, maka pergilah, kisahkan padanya bahwa perjalananku telah usai dan biarkan ia meninggalkan dermaga yang takkan pernah kusinggahi"

perempuan menyibakkan tangisnya, menjunjung sesal dan memikul galau saat laut meninggalkan dermaga membawa kasmaran penuh luka, entah untuk siapa

Jakarta, 20 Oktober 2008